Selasa, 25 September 2007

KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA KONTRIBUSI POSITIF GLOBAL WARMING


Oleh : Sandhi Setya P


Awalnya

Pada bulan September 2007 merupakan hari kebakaran hutan di pulau Jawa. Seperti yang diberitakan di media www.okezone.com bahwa telah terjadi kebakaran hutan di Madiun. Kebakaran hutan yang melanda kawasan hutan jati dan hutan pinus di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Saradan, KPH Madiun, dan KPH Lawu. Maka lengkaplah sudah kebakaran hutan di Indonesia ini yang selama ini telah menimpa di pulau yang kaya dengan hasil hutannya seperti Kalimantan dan Sumatera.

Selain itu adaptasi di Indonesia terkait dampak perubahan iklim global membutuhkan kerja ekstra keras, khususnya dari pemerintah. Selain ketidaksiapan data-data dampak perubahan iklim, pemahaman di tingkat daerah juga masih rendah. Ketika pemerintah pusat di Jakarta membahas upaya adaptasi menjelang Konferensi Para Pihak Ke-13 (COP-13) Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali akhir tahun ini.

Hal ini akan menambah lagi kontribusi positif permasalahan global warming yang terjadi di dunia sekarang ini. Kebakaran hutan di Indonesia memiliki andil yang cukup besar dengan fenomena bumi makin panas. Karena dengan adanya kebakaran hutan akan memberikan efek gas rumah kaca yang nantinya akan memberikan efek yang sangat besar. Karena gas CO2 yang diberikan akan memberikan kontribusi positif global warming.

Dari tahun ke tahun negara-negara berkembang maupun negara maju memikirkan solusi yang tepat untuk menangani kasus kebakaran hutan ini. Di akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, dunia dapat menyaksikan dan mengamati betapa sedih dan mengerikan pada saat api membinasakan berjuta-juta hektar hutan tropika di Indonesia. Peristiwa kebakaran yang merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga membahayakan keamanan perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan.

Manusia Faktor Utamanya

Dapat kita bedakan kebakaran hutan memiliki dua tipe yaitu kebakaran hutan secara normal dan tidak normal. Yang menjadi perbedaan adalah proses terjadi kebakaran hutan tersebut, kebakaran hutan secara normal disebabkan oleh pengaruh alam yang terjadi dalm selang waktu yang sangat begitu lama (hingga 17500 tahun). Hal ini dibuktikan adanya aktifitas radioaktifitas pada kayu arang yang ada di Kalimantan. Dan ini merupakan ciri dari periode Glasial Kuarter.

Tetapi kebakaran hutan pada akhir-akhir ini dipicu oleh tangan manusia yang mengakibatkan kebakaran yang sangat hebat dan dalam jangka waktu pendek.

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu CO2, CH4 (methan), NO2, SF6, dan PFC akibat aktivitas manusia menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap dalam atmosfir. Hal ini menyebabkan fenomena Pemanasan Global yang menyebabkan perubahan iklim, yaitu perubahan pada unsur-unsur iklim seperti : naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Sebagai contoh telah mencairnya salju/es di puncak Gunung Jayawijaya dan di Argentina.

Manusia merupakan faktor utamanya. Apabila kebakaran yang terjadi merambah lebih luas akan mengkibatan emisivitas akan bertambah besar secara matematis dapat kita tuliskan

Di mana P merupakan daya emisivitas yang diakibatkan oleh radiasi benda hitam, s merupakan konstanta Boltzman, e merupakan tingkat emisivitas (semakin hitam bernilai mendekati 1), T merupakan suhu, A merupakan luasan yang terkena radiasi.

Oleh sebab itu semakin banyak manusia membakar hutan, maka akan tercipta radiasi benda hitam yang merupakan cikal bakal terjadi global warming. Karena radiasi benda hitam ini yaitu radiasi yang dipancarkan oleh benda hitam yang ketika menerima energi tidak dapat keluar dari sistem tersebut dan memiliki energi yang cukup besar.

Banyak Cara yang Ditempuh

Pada tahun 1998 dengan bantuan dari ICRAF, UNESCO, dan European Commision Joint Research Centre, CIFOR (Center for International Forestry Research) mengumpulkan laporan yang memuat latar belakang peristiwa kebakaran hutan di Indonesia dengan judul "A Review of Forest Fire Project in Indonesia: 1982 – 1998". Buku tersebut merangkum beberapa peristiwa kebakaran penting di kawasan Asia Tenggara yang terjadi selama kurun waktu 2 dasawarsa lalu, pemikiran umum tentang sebab dan dampaknya, serta serangkaian proyek yang menangani masalah kebakaran.

Laporan tentang kebakaran yang dikeluarkan CIFOR menunjukan bahwa sebelum tahun 1994, lembaga-lembaga serta pemerintah di seluruh dunia menyediakan bantuan terutama dalam bentuk bantuan darurat (emergency) jangka pendek, dukungan manajemen, serta perlengkapan teknik dan pelatihan. Kebakaran lebih hebat yang baru-baru ini terjadi, bagaimanapun juga, banyak mengundang perhatian dan upaya untuk memahami dan menyoroti penyebab utamanya.

Pada akhir tahun 1997, dimulai suatu prakarsa multi-nasional secara intensif yang memerlukan penggunaan gambaran satelit dengan resolusi tinggi untuk memantau bencana kebakaran serta memetakan kawasan yang terbakar.

Di akhir 1997, ilmuwan CIFOR dan ICRAF mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemerintah Amerika Seikat untuk merencanakan suatu studi mendalam tentang penyebab dan dampak kebakaran dengan jangka waktu 3 tahun. Kegiatan ini akan dibiayai oleh US Forest Service dan US Agency for International Development. Dalam rangka membantu proses analisa penyebab kebakaran serta penyediaan program-program dasar pengembangan sistem pemantauan kebakaran yang lebih baik, maka akan dilakukan suatu kegiatan yang mengkombinasikan penginderaan jarak jauh dengan kajian kondisi sosial setempat.

Pada tanggal 30 Agustus 2007 di Jakarta diadakan Workshop Penggunaan Automatic Wildfire Surveillance System (AWFS). Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan. Workshop ini diselenggarakan oleh Departemen Pertanian bekerjasama dengan, Departemen Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, Fire Watch dan PT. Graha Elektro Tama. Workshop dibuka secara resmi oleh Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian, dihadiri oleh Mr. Joachim Dreibach dari Fire Watch Switzerland mempresentasikan mekanisme kerja alat deteksi kebakaran kebun/lahan.

Diharapkan dengan adanya workshop ini akan memberikan solusi yang mampu mengurangi dan memberikan solusi preventif untuk mencegah kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia.

Menurut Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman, pemerintah telah membangun sistem peringatan dini kebakaran hutan yang dioperasikan di Departemen Kehutanan sehingga diharapkan dapat mencegah dan mengurangi kebakaran hutan di Indonesia. Sistem peringatan dini tersebut, apabila terjadi kebakaran hutan, yang mengeluarkan adalah Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Selain itu, juga ada berbagai teknologi yang dimungkinkan kalau sampai terjadi kebakaran hutan atau untuk mencegahnya diantaranya dilakukan dengan menggunakan teknologi modifikasi cuaca atau hujan buatan.

Sementara itu, Menteri Kehutanan dalam sambutan tertulis yang dibacakan Staf Ahli Menteri Bidang Kemitraan Kehutanan, Sunaryo, menyampaikan, deforestasi (kerusakan hutan) secara besar-besaran telah terjadi beberapa abad yang lalu di negara-negara industri, namun saat ini telah bergeser ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Pada giliran terjadinya deforestasi di negara berkembang, hutan di dunia sudah tinggal sedikit (30% dari luas daratan di dunia), sehingga kerusakan hutan saat ini menjadi penting bahkan sangat penting bila dikaitkan dengan adanya perubahan iklim.

Disebutkan, dalam Laporan Intergovernmental Panel Climate Change (AR4), emisi CO2 akibat deforestasi sebesar 5,8 giga ton setiap tahunnya, biaya untuk menurunkan CO2 sangat mahal. Menurut Stern, untuk mengurangi emisi global sebesar 50% akan membutuhkan biaya sebesar $5-$15 milyar setiap tahunnya, dengan demikian maka pencegahan terjadinya deforestasi akan menjadi lebih efisien.

Langkah tersebut merupakan langkah yang baik, dan dapat menghindari resiko-resiko yang membahayakan pada masa yang akan datang. Jika investasi dilakukan atau dikelola secara baik, akan ada peluang-peluang yang baik bagi pertumbuhan dan pembangunan di masa yang akan datang

Jika perubahan iklim tidak diperhatikan atau dipahami sedini mungkin, kemampuan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan mungkin akan terganggu oleh meningkatnya penyakit dan banyak bencana lainnya.

Apabila hutan di Indonesia ini dirubah menjadi lebih baik, yaitu dalam keadaan yang tidak perlu untuk diubah menjadi bahan atau sebagai tumbal kemajuan teknologi, hutan akan memiliki dampak positif bagi kehidupan seluruh orang banyak dan mengatur kesetimbangan iklim di bumi. Juga karena teknologi yang baik adalah tekhologi yang menyelamatkan alam sekitar atau disebut juga dengan tekhnologi yang ramah akan lingkungan baik abiotik, maupun biotiknya.

Kebakaran hutan di Indonesia ini akan memberikan kontribusi yang positif untuk terciptanya fenomena global warming . Civil society (masyarakat madani) adalah masyarakat yang bisa memberikan kontribusi yang positif bagi alam sekitar dan mampu untuk melestarikan alam tersebut untuk kehidupan di masa depan.

Referensi

Anonymous. 2002. Keadaan Hutan Indonesia :Kebakaran Hutan Dan Lahan. pdf.wri.org . diakses 21 September.

CIFOR. Mencari Solusi Penanganan Bencana Kebakaran di Asia Tenggara. http://www.cifor.cgiar.org .Diakses pada 21 September 2007.

Depkominfo.10 September 2007. Sistem Peringatan Dini Diharapkan Cegah Kebakaran Hutan. http://postel.depkominfo.go.id. Diakses pada 22 September 2007.

Ditjen Perkebunan. 21 September 2007. Perubahan Iklim Global Akibat Emisi Gas Rumah Kaca Berkaitan dengan UsahaPerkebunan.http://ditjenbun.deptan.go.id. Diakses pada 22 September 2007.

Kementerian Lingkungan Hidup.20 September 2007.56 Persen Kepala Daerah Belum Peduli Lingkungan.http://perpustakaan.menlh.go.id. Diakses pada 21 September 2007.

Sindo.13 September 2007. Perhutani Kewalahan Atasi Kebakaran Hutan. http://www.okezone.com. Diakses pada 21 September 2007.

Tidak ada komentar: